Restorative Justice, Kejagung Hentikan Penuntutan 3 Kasus Penipuan-KDRT

Kejaksaan Agung (Kejagung) menerapkan restorative justice atau penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif pada 3 perkara terkait penipuan, KDRT hingga penganiayaan. Adapun penghentian penuntutan itu dilakukan salah satunya karena telah terjadi perdamaian antara tersangka dan korban.

“Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr. Fadil Zumhana menyetujui 3 dari 4 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/4/2022).

Penerapan restorative justice itu telah berdasarkan ekspose bersama Jampidum dan jajaran lainnya. Adapun 3 berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif adalah sebagai berikut:

1. Tersangka Antoni alias Arip dari Kejaksaan Negeri Kaur yang disangkakan melanggar Pasal 378 KUHP atau Pasal 372 KUHP tentang penipuan atau penggelapan;
2. Tersangka Zulhemi Mastin dari Kejaksaan Negeri Bengkulu Tengah yang disangkakan melanggar Pasal 44 ayat (4) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
3. Tersangka Mukrin dari Kejaksaan Negeri Bengkulu yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.

Adapun alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain, para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum; ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.

“Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya; Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi; tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar,” kata Ketut.

Sementara itu, alasan penghentian penuntutan lainnya adalah dalam perkara tersangka Antoni, yaitu (1) tersangka merupakan cucu korban sehingga korban ingin hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik dan meminta agar perkara ini bisa diselesaikan tanpa harus disidangkan serta bersepakat menyelesaikan tindak pidana yang dialaminya secara damai.

Selain itu telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka melalui ayah kandungnya bernama Zamhari dengan cara mengganti kerugian korban dalam bentuk uang sebesar Rp 10.000.000, dan penyerahan sebidang tanah seluas lebih kurang 280 meter persegi yang terletak di Kelurahan Bandar Kecamatan Kaur Selatan Kabupaten Kaur milik Zamhari kepada Korban.

Selanjutnya, dalam perkara Tersangka Zulhemi Mastin alasan penghentian penuntutan lainnya, yaitu hubungan tersangka dan korban adalah suami-istri; tersangka bersedia memberikan nafkah kepada korban dan anak-anak korban untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketiga, tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan berjanji tidak akan berlaku semena-mena kepada korban dan anak-anak korban.

Sementara itu 1 berkas perkara yaitu Tersangka I Alexandrina Maria Manua, Tersangka II Egan Januar Kanender dan Tersangka III Calvyn Willy Kanender dari Kejaksaan Negeri Minahasa Utara yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Penganiayaan, tidak dikabulkan Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sebab perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka terhadap korban bertentangan dengan nilai-nilai dasar sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Selanjutnya, Jampidum Fadil memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai perwujudan kepastian hukum.

Kejari Depok Resmikan Rumah Restorative Justice

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Depok Mia Banulita meresmikan Rumah Restorative Justice hari ini. Ia berharap seluruh jaksa pada Kejaksaan Negeri Depok akan menggunakan hati nurani sebagai dasar pertimbangan dalam setiap proses penuntutan hukum serta keadilan hukum yang membawa manfaat dan kepastian hukum untuk semua pihak.

“Kita semua Jaksa dalam melakukan penegakan hukum harus menggunakan hati nurani. Kita melihat bukan dari persyaratan formal dan materiil, kita lihat juga apakah ini manfaat bagi Tersangka, korban dan masyarakat. Itu kita baca, teliti dan renungkan lagi, seperti pada hari ini kita melihat ada mudaratnya apabila kita lanjutkan karena akan mengganggu harmonisasi sesama keluarga. Selain itu, kami menghaturkan terima kasih atas supportnya dari Pemerintah Kota (Pemkot) Depok atas tempat yang telah disiapkan kepada kami,” ujar Mia, melalui keterangan tertulis Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana.

“Ini menjadi sebuah bukti bahwa Jaksa juga manusia, bahwa kita bekerja dalam kasus tidak hanya dalam sebuah jalur hukum yang harus kita taati di negara kita, tetapi juga dengan pendekatan nurani. Kami sambut dan apresiasi yang setinggi-tingginya, untuk itu kami buktikan dengan memfasilitasi Rumah Restorative Justice ini sebagai bentuk kepedulian kami khususnya masyarakat depok, termasuk pelayanan dan konsultasi dengan Kejari Depok di sini,” tutur Mia.

Dalam acara peresmian rumah restorative justice itu, Wali Kota Depok Mohammad Idris turut hadir. Idris Abdul Shomad menyambut baik pembuatan Rumah Restorative Justice, serta diharapkan dapat membantu penyelesaian masalah di masyarakat khususnya Kota Depok. Selain itu, Walikota Depok juga mengapresiasi atas program Jaksa Agung RI yang mengedepankan pendekatan nurani sebagai penyelesaian permasalahan atau perkara.

Dalam peresmian Rumah Restorative Justice tersebut, Kajari Depok didampingi Walikota Depok M Idris juga menyerahkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Restorative Justice atas nama Tersangka Agus Supriyatna dalam perkara tindak pidana penganiayaan. Walikota Depok M Idris juga secara simbolis menyematkan baju koko dan peci serta memberikan nasihat kepada Tersangka.

“Mulai sekarang, kami kembalikan Agus berkumpul dengan keluarga dan perkaranya telah kami hentikan berdasarkan keadilan restoratif. Jangan diulangi lagi Agus dan semakin lebih baik,” kata Mia.

Sebelumnya, saat peresmian Rumah Restorative Justice oleh Jaksa Agung RI pada Rabu 16 Maret 2022 lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan dasar filosofi penyebutan rumah disini dikarenakan rumah merupakan suatu tempat yang mampu memberikan rasa aman, nyaman dan tempat semua orang kembali untuk berkumpul dan mencari solusi dari permasalahan yang disebabkan adanya perkara pidana ringan sehingga dapat memulihkan kedamaian, harmoni dan kesimbangan kosmis di dalam masyarakat, dan oleh karena itu diberikan nama ruang tersebut yaitu Rumah Restorative Justice (Rumah RJ).

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, pembentukan Rumah RJ diharapkan dapat menjadi contoh untuk menghidupkan kembali peran para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan penegak hukum khususnya Jaksa dalam proses penegakan hukum yang berorientasikan pada keadilan subtantif.

Di samping itu, pembentukan Rumah RJ juga diharapkan menjadi suatu terobosan yang tepat, karena dalam hal ini akan menjadi sarana penyelesaian perkara diluar persidangan sebagai solusi alternatif memecahkan permasalahan penegakan hukum tertentu yang belum dapat memulihkan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat seperti sebelum terjadinya tindak pidana.

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-6018337/restorative-justice-kejagung-hentikan-penuntutan-3-kasus-penipuan-kdrt.

Bagikan:

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn
Telegram